CATUR GURU

Pengertian Catur Guru
Istilah guru dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata Sanskerta yang artinya: berat, besar, kuat, luas, panjang, penting, sulit, jalan yang sulit, mulia, terhormat, tersayang, agung,sangat kuasa,orang tua (bapak-ibu) dan yang memberikan pendidikan (Apte,1978: 409). Istilah lainnya adalah Àcàrya, Adhyàpaka, Upàdhyàya dan Siva. Kosa kata yang terakhir ini artinya adalah: yang memberikan keberuntungan atau kerahayuan, oleh karena itu di Bali para panditapun disebut Siva oleh para Sisyanya.Dalam pengertian yang lebih luas, guru adalah yang mendidik pribadi, yang mencurahkan ilmu pengetahuan sucinya dan yang membebaskan siswanya dari lembah penderitaan serta yang membimbing untuk mencapai Moksa sebagai tersebut pada Gurustotra 1, yang saya kutipkan pada manggala tulisan ini.
Pengertian tentang guru, terutama penghormatan yang patut diberikan kepada ibu-bapa dan guru yang mendidik secara terinci dijelaskan dalam lontar Pañcaúikûa sebagai berikut :
"Guru ngaranya, wwang awreddha, tapowreddha,
jñànawreddha.Wwang awreddha ng.sang matuha
matuha ring wayah, kadyangganing bapa, ibu.
Pengajian, nguniweh sang sumangàskàra rikita.
Tapowreddha ng. sang matuha ring brata, Jñàna-
wreddha ng. sang matuha rting aji" .
Artinya:
(Yang disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo-wreddha, Jñànawreddha. Orang Awreddha adalah orang yang sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik (mengajar/Pengajian), lebih-lebih orang yang mentasbihkan (mensucikan/sumangàskàra) engkau.Tapowreddha disebut bagi orang matang di dalam pelaksanaan brata.Jñànawreddha adalah orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual).
Demikian sepintas tentang pengertian guru, selanjutnya bila kita meninjau tentang jenis-jenis yang disebut guru atau yang berfungsi sebagai guru, maka sebagai guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Guru Param Brahma atau Parameûþiguru sebagai dinyatakan dalam Gurupùjà 2, berikut:
“Oý Gurur Brahma Gurur Viûóu Gurur deva Maheúvara, Gurur sàkûat Param Brahma tasmai Úrì gurave namaá.”
Artinya:
(Om Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Viûóu dan Maheúvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara pelebur alam semesta. Engkau adalah Guru Tertinggi, Param Brahma, kepada-Mu aku memuja)
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap Catur Guru. Jadi Catur Guru artinya empat tugas berat yang harus dipikul atau diemban untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan kepada para sisyanya atau muridnya.
Pembagian Catur Guru
A.Guru Swadyaya
Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
B.Guru Wisesa
Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
C.Guru Pangajian
Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
D.Guru Rupaka
Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).
Selain yang saya sebutkan diatas kita juga mengenal istilah, yang sering kita dengar atau sudah kita ketahui dari kehidupan sehari-hari kita.
•Tri Guru
Tri sinanggah guru (tiga yang disebut sebagai guru). Demikianlah ucapan-ucapan sastra-sastra mengenai tiga guru. Adapun Tri Guru atau tiga guru itu ialah Guru Rupaka yang artinya orang tua kita, Guru Pangajian, guru yang member pendidikan rohani dan ilmu pengrtahuan suci untuk mendapat kesempurnaan dan Guru Wisesa yaitu pemerintah yang menjadi abdi bagi kesejahteraan rakyat, tempat rakyat bernaung diwaktu kesusahan. Diatara ketiga Guru itu, Guru Pengajian mendapat penghormatan lebih daripada kedua Guru yang lain, karena Guru Pengajian adalah guru yang tidak hanya memberikan kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani, tetapi terutama memberikan kesejahteraan atau kebahagiaan rohani yang dsebut dengan Dharma, yaitu pendidikan suci berupa kebajikan dan kesucian laksana membuka pintu untuk mendapat kebahagiaan akhirat (Swarga) dan penjelmaan yang baik kemudian terutama member jalan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Paramartha) yang disebut Moksa (kebahagiaan yang langeng karena telah lepas dari ikatan duniawi dan bebas dari rantai Punarbhawa). Lahir dari perut ibu (Guru Rupaka) adalah kelahiran yang belum sempurna dan hanya merupakan kelahiran tubuh (physic) sedangkan yang kedua kalinya (Dwijati) dari pendidikan suci atas tuntutan Guru Pengajian atau Acarya adalah kelahiran sempurna yang memberikan kesucian rohani (Dharma), Swarga da Moksa. Oleh karena itu Guru Pengjian medapat penghormatan lebih dari Guru Rupaka.
Kamanmata pita caiman
yadutpadayato mithah,
Sambhutim tasya tam
widyadyonawabhijayate,

Acaryastwasya yam jatim
widhiwad weda paragah
utpadayati sawitrya
sa satya sa jara mara

Utpadakabrahmadatror
gariyan brahmadah pita
Brahmajanma hi wiprasya
pretya ceha ca saswatam
Atinya:
Ibu dan Bapa (Guru Rupaka) melahirkan dia karena nafsu, maka ia lahir dari perut. Ketahuilah ini adalah kelahiran jasmani. Namun kelahiran yang berdasarkan pentasbihan (Dwijati) dengan (mantra) Sawitri (suatu mantra yang didoakan oleh gurunya kepada muridnya pada waktu upacara pentasbihan (Upanayana)) dari Acarya. (Guru Pengajian) yang telah mahir dalam Weda, itulah kelahiran yang sebenarnya, yang utuh dan abadi. (ajaran amara)
Diantara yang melahirkan dan memberikan pengetahuan mengenai Brahma (Tuhan), yang member pengetahuan mengenai Brahma adalah bapak yang lebih utama, karena lahirnya Brahma pada seorang yang bijaksana (Wipra) sungguh abadi di akhirat maupun di sini (di dunia fana ini)
Gurubhakti
Didalam lontar Silakrama telah diuraikan tata tertib, sujud bakti dan sikap hormat para siswa kerohanian (sisya) terhadap Guru yang mendidik pribadi dan mencurahkan ilmu pengetahuan sucinya terhadap para siswa kerohanian (sisya), kalimat Jawa-Kuna yang saya kitip diatas menyatakan dengan jelas Gurubhakti atau sujud dan hormat yang harus dilakukan oleh para siswa kerohanian terhadap Gurunya yang biasa bergelar Acarya atau Upadhaya, dan di Bali dikenal dengan sebutan Nabe.
Selain daripada yang disebutkan dalam Jawa-Kuna diatas disebutkan juga bahwa seorang sisya tidak boleh duduk berhadap-hadapan dengan Guru, tidak diijinkan memutus-mutus pembicaraan Guru, harus menurut apa yang diucapkan Guru, bila Guru datang ia harus turun dari tempat duduknya, bila melihat Guru berjalan atau berdiri selalu mengikuti dari belakang. Bila berbicara terhadap Guru tidak boleh menoleh kesebelah dan kebelakang suapaya dapat menerima ucapan-ucapan Guru dan selalu meyahut dengan ucapan-ucapan yang menyenangkan hati (Manohara). Satu lagi kewajiban bagi seorang sisya, walaupun bagaimana marahnya bila Gurunya menasehati hendaklah dituruti. Demikianlah uraian-uraian mengenai tata tertib, sujud bakti dan sikap hormat siswa keohanian (sisya) terhadap Gurunya yang disebutkan didalam Silakrama.
Guru Susrusa
Guru Susrusa merupakan bagian dari Panca Niyamabrata, yaitu lima macam pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian batin berupa Dharma dan Moksa. Arti dari Guru Susrusa adalah mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat Guru. Guru Susrusa itu memiliki hubungan erat dengan Gurubhakti (sujud bakti terhadap Guru) dan Asewakaguru (mengabdi kepada Guru), dan semuanya termasuk kedalam masa menuntut ilmu atau yang lebih sering disebut dengan Brahmacari atau aguron-guron.
Didalam Bhagawata Purana terdapat istilah Guru Susrusa yang berarti mendengarkan atau memperhatikan ucapan-ucapan Guru, sebagai suatu bagian dari Dharma, himpunan dari semua kebajikan dan kewajiban suci sebagai sifat mengampuni (Ksama), jujur (Satya), kuat mengekang pikiran (Dama), murni lahir batin (Sausa), bersedekah (Dana), kuat mengendalikan Panca Indra (Indriya Samsaya), tidak menyakiti atau membunuh (Ahimsa), dan mendengar atau memperhatikan ucapan-ucapan Guru (Guru Susrusa), murah hati (Daya) dan lurus hati (Arjawa). Didalam penjelasan mengenai Guru Susrusa itu, Panca Siksa menyebutkan sebagai berikut:
Gurucucrusa, bhakti ting guru, guru
Ngaranya, wang awreddha, tapowreddha,
Jnanawreddha. Wang awreddha . ng. sang
matuha ring wayah, kadyanganing bapa, ibu,
pangjyan, nguniweh sang sumangaskara
rikita, tapowreddha .ng. sang matuha ring
brata. Jnanawreddha .ng. sang matuha ring aji.
Artinya :
Guru Susrusa berarti sujud bakti terhadap Guru. Guru namanya orang yang sudah Awerddha , Tapowreddha dan Jnanawreddha. Orang Awreddha namanya orang yang lanjut usinya sebagai Bapa, Ibu, orang yang mengajar (Pangjyan) terlebih orang yang mentasbihkan (Sumangas Kara) kamu. Tapowreddha sebutanya orang yang lanjut (tua dan matang) didalam brata. Jnanawreddha namanya orang yang lanjut (tua dan matang) didalam ilmu pengetahuan.
Demikianlah penjelasan Panca Siksa, yang menyebutkan bahwa Guru Susrusa itu sama maknanya dengan Gurubhakti. Adapun yang disebut Guru Susrusa didalam Silakrama yang merupakan bagian dari Niyamabrata, adalah selalu berada dekat Guru, karena keras keinginan atau kemauanya utuk mendapatkan pelajaran mengenai peraturan hidup seorang Wiku, hendaknya tidak tersandung rintangan, karena bila seorang Wiku kurang mendapat ajaran dan nasehat (Warawarah) dari Gurunya, tidak akan semua pengetahuan akan dilaksanakannya.
Terlebih didalam Panca Sila dan Dasa Dharma sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan (Abhyudaya) dan kebebasan hidup dari ikatan duniawi dan kebahagiaan yang langgeng (Nissreyasa)

Pawiwahan dan Rangkaian Upacaranya

Pengertian Wiwaha
Sebagaimana seperti yang telah kita ketahui bahwa di dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jenjang hidup/tahapan kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama, yaitu tahapan yang pertama adalah Brahmacari, yaitu jenjang didalam masa hidup kita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tahapan yang kedua adalah Grehastha, yaitu berumah tangga. Tahapan ketiga disebut Wanaprastha, yaitu mulai tahapan untuk mulai melepaskan diri kita dari ikatan keduniawian dan tahapan yang keempat adalah Bhiksuka/Sanyasin, yaitu penyebaran ilmu agama kepada umat, dan dirinya di abdikan sepenuhnya kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Wiwaha di dalam ajaran Hindu memiliki arti penting untuk awal atau sebagai langkah pertama untuk masuk ke dalam jenjang Grehastha Asrama.
Definisi perkawinan menurut hokum, tepatnya menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat kita simpulkan dari definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan antara pria dengan wanita secara lahir maupun batin dengan tujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dengan di dasari atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan definisi diatas pernikahan mempunyai ikatan yang erat dengan Agama. Pernikahan bukanlah hanya sekedar melakukan hubungan biologis untuk memenuhi hasrat yang mendapat legalitas hokum, melaikan pernikahan adalah ikatan batin yang kuat antara pria dan wanita berdasarkan Agama. Pernikahan dikatakan sah bila sudah memenuhi beberapa syarat. Didalam ajaran Agama Hindu pernikahan dikatakan sah bla sudah melakukan minimal upacara bykala.
Beberapa syarat yang harus di penuhi untuk membuat suatu pernikahan sah, salah satunya adalah adanya saksi. Dalam upacara bykala (wiwaha)sudah terkandung 3 macam saksi yang dikenal dengan isatilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan pewiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang dating menghadiri pewiwahan tersebut dapat di katakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan sebagainya. Saksi dari para Bhuta kala disebut dengan Bhuta Saksi. Dalam upacara byakala kita membakar tetimpug ( beberapa ruas bamboo yang kedua ruasnya masih ada) sehingga menimbulkan suara ledakan. Suara dari tetimpug tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhuta kala untuk hadir pada upacara tersebut, kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara. Setelah selesai melaksanakan upacara byakala (Wiwaha) maka mereka telah sah menjadi suami istri dan wajib melaksanakan tugas-tugas/kewajiban didalam jenjang Grehastha.
Tujuan Wiwaha
Bagi masyarakat Hindu wiwaha memiliki kedudukan yang khusus didalam dunia kehidupan mereka. Berdasarkan kitab Manusmrti, Wiwaha bersifat religious dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban untuk melahirkan seorang “putra” untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka.
Wiwaha didalam Agama Hindu dipandang sebagai sesuatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha itu bersifata sacral dan harus melakasanakan tugas didalam jenjang Grehastha, dalam artian harus dilakukan oleh orang yang normal sebagaia kewajiban didalam hidupnya. Penderitaan yang dialamai seseorang maupun leluhur akan dapat dikurangi dengan memiliki keturunan. Penebuasan dosa seseorang dapat dilakukan oleh keturunannya seperti yang sudah dijelaskan didalama Kitab Purana dan Itihasa.
Jadi, tujuan utama daripada Wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang Suputra untuk dapat mengurangi/melebur dosa-dosa yang telah dilakukan oleh lelhur mereka maupun oleh orang tuanya. Anak yang Suputra akan dapat menyeberangkan orangtua/leluhurnya dari Neraka ke Sorga
Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan Weda, karena itu merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui perkawinan.
Dalam hidup berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan, yaitu,
1. Melanjutkan Keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat, dan
4. Melaksanakan Panca Yadnya
Hakikat Wiwaha
Perkawinan menurut ajaran hindu adalah Yadnya. Didalam jenjang Grehastha ini ada tiga usaha yang harus dilakukan, yaitu memenuhi
1. Dharma, yaitu aturan-aturan yang harus di taati dengan kesadaran dan pendoman pada Dharam Agama dan Dharma Negara
2. Artha, yaitu segala kebutujan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan
3. Kama, yaitu rasa kebahagiaan yang dapat diwujudkan di dalam keluarga
Syrat-syarta Wiwaha
Upacara wiwaha adalah suatu samskara dan tidak terpisah dari hukum agama (Dharma). Menurut ajaran agama Hindu, sah tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidak persyaratan yang ada dalam ajaran agama. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Hindu adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu
2. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu
3. Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua mempelai sudah menganut agama Hindu
4. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, suatu perkawinan dikatakan sah apabila sudah melakukan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara Wiwaha
5. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6. Tidak ada kelainan, seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani
7. Calon mempelai cukup umur, pria berusia 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun
8. Calon mempelai tidak boleh memiliki ikatan darah dekat seperti saudara, sepupu, keponakan atau sepinda
Jika calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah disebutkan diatas maka perkawinan dikatakan tidak sah. Orang yang berwenang mengawinkan adalah orang yang memiliki status kependetaan atau dikenal dengan mempunyai status Loka Pala Sraya. Selain dengan memenuhi syarat-syarat yang terdapat diatas, suat pernikahan dapat lebih di kukuhkan dengan membuat “Akta Pernikahan” menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Demikian juga yang dapat membatalkan suatau perkawinan menurut pasal 23 bab IV Undang-Undang No. 1 tahun1974 adalah sebagai berikut:
1. Para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau istri
2. Suami/istri
3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4. Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap suatu perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut putus.
Sistem perkawinan Hindu
Supaya dapat dinyatakan sah sebagai pasangan suami istri, dilakukan dengan cara yang dibenarkan untuk dilakukan menurut ajaran agama Hindu dalam melaksanakan tatacara perkawinan disebut dengan Sistem perkawinan Hindu. Kitab suci agama Hindu yang merupakan kompodium hukum Hindu adalah Manawa Dharmasastra.
Dalam kitab Manawa Dharmasastra tersurat sistem/bentuk perkawinan sebagai berikut:
“Brahma Dai vastat hai varsah, pntpaja vasiatha surah, gandharwo raksasa caiva, dan paisacasca astamo dharmah”
Artinya,
Adapun sistem perkawinan itu adalah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Gandarwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha
Berdasarkan pejelasan kitab Manawa Dharmasatra tersebut bahwa bentuk perkawinan ada 8 jenis, yaitu:
1. Brahma Wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria memunyai prlaku yang baik dan diundang sendiri oleh ayahnya.(Manawa Dharmasastra III. 27)
2. Daiwa Wiwaha, adalah pemberian anak perempuan kepada seorang Pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa.(Manawa Dharmasastra III. 28)
3. Arsa Wiwaha, adalah perkawinan yang sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki.(Manawa Dharmasastra III. 29)
4. Prajapati Wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukan penghormatan (kepada pengatin laki-laki) .(Manawa Dharmasastra III.30)
5. Asura Wiwaha, adalah bentuk perkawinan dimana calon mempelai laki-laki memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan ekonominya dan di dasari oleh rasa keinginannya kepada calon mempelai wanita dan telah disetujui oleh ayah dari calon mempelai wanita untuk memiliki anaknya.(Manawa Dharmasastra III. 31)
6. Gandharwa Wiwaha, adalah bentuk pernikahan yang didorong oleh rasa suka sama suka antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita.(Manawa Dharmasastra III. 32)
7. Raksasa Wiwaha, adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan cara menculik wanita yang ingin dinikahi tersebut dengan cara kekerasan.(Manawa Dharmasastra III. 33)
8. Paicasa Wiwaha, adalah betuk perkawinan dengan menculik, memaksa calon mempelai wanita dengan cara membuat bingung atau mabuk.(Manawa Dharmasastra III. 34)
Dari delapan sistem perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang oleh agama dan dilarang oleh hukum, yaitu sistem perkawinan Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha.
Menurut tradisi di Bali sendiri ada memiliki empat sistem pernikahan, yaitu
1. Sistem memadik/meminang, yaitu pihak calom mempelai laki-laki datang berserta kaluarganya ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya tersebut. Biasanya kedua calon mempelai sudah saling mengenal dan sudah membuat kesepakatan untuk membangun rumah tangga. Dalam masyarakat Bali sistem ini dianggap paling terhormat.
2. Sistem ngrorod/rangkat, yaitu bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka antara kedua calon mempelai yang sudah cukup umur untuk membina tumah tangga. Sistem seperti ini sering disebut dengan sistem kawin lari.
3. Sistem nyentana/nyeburin, adalah perkawinan yang didasari oleh perubahan status hukum dimana mempelai perempuan berubah status menjadi purusa dan mempelai laki-laki berubah status menjadi pradana. Dalam hal ini mempelai laki-laki tinggal di rumah istri.
4. Sistem melegandang, yaitu bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta sama cinta. Jenis perkawinan seperti ini sama dengan Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha dalam kitab Manawa Dharmasastra
Didalam kenyataannya tidak jarang ditemukan perkawinan campuran yang berbeda Negara maupun berbeda agama. Menurut Ordenansi Perkawinan Campuran, maka hukum agama calon mempelai laki-laki yang harus diikuti. Sehubungan dengan hal ini didalam ajaran agama Hindu maka pada upacara WIwaha kepada si wanita diawali dengan upacara Sudhiwadani, sebagai pernyataan bahwa si wanita bersedia dan sanggup mengikuti agama si laki-laki. Setelah itu baru upacara Wiwaha dimulai.
Tata Cara Perkawinan (Wiwaha) di Bali
Upacara perkawinan merupakan upacara persaksian, baik kepada Ida Sang Hyang Widhi Wada maupun kepada masyarakat, behwa kedua orang tersebut mengikat diri sebagai suami istri, dengan segala akibat perbuatanya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu, upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap sukla (sperma) dan swanita (ovum) serta lahir batinnya. Hal ini dimaksudkan agar bibit (benih) dari kedua mempelai bebas dari pengaruh buruk (gangguan bhuta kala), sehingga kalau keduanya bertemu (tejadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “manik”(embrio) yang sudah bersih.
Dengan demikian, diharapkan agar roh yang akan mejiwai manic itu adalah roh yang suci/baik dan kemudian akan lahirlah anak yang berguna bagi masyarakat. Selain itu, dengan adanya upacara perkawinan ini, berarti kedua mempelai telah memilih agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai penganngan hidup didalam membina rumah tangganya. Disebutkan pula bahwa hubungan seks didalam suatau perkawinan yang tidak didahului dengan upacara pekala-kalaan dianggap tidak baik dan disebut “kama keparagan” dan anak yang lahir akibat kama tersebut adalah anak yang tidak menghiraukan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran agama. Anak yang lahir seperti itu disebut “rare diadiu” atau “rare babinjat”
Perkawinan menurut Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan , yaitu kecil/nista, sedang/madya, dan besar/utama. Walaupun mejadi tiga tingkatan tetapi nilai spiritualnya sama
a. Tata Urutan Upacara
1. Penyambutan kedua mempelai
Penyambutan mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol utnuk melenyapkan unsure-unsur negative yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak menggangu jalannya upacara.
2. Mabyakala
Upacara untuk membersihkan lahir batin terhadap kedua mempelai terutama terhadap sukla swanita, yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin yang suputra.
3. Mepejati atau Pesaksian
Mepejati merupakan upacara kesaksian terhadap kesahaan suatau perkawinan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai sudah mengikat diri sebagai pasangan suami istri yang sah
b. Sarana/Upakara
Jenis upacara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut:
1. Banten Pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.
2. Banten pesaksi, pradaksina dan ajuman
3. Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean.
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti:
1. Tikeh Dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini merupakan simbol kesucian si gadis.
2. Papegatan yaitu berupa dua buah carang dapdap yang ditancapkan di tempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduannya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
3. Tetimpug yaitu beberapa pohon bambu kecil yang masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas atau tujuh ruas.
4. Sok dagang yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah, dan keladi
5. Kala Sepetan, yaitu disimbolakan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipkan lidi tiga buah dan tiga lembar daun dapdap. Kala Sepetan adalah nama bhuta kala yang akan menerima pakala-kalaan
6. Tegen-tegenan, yaitu batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
c. Jalannya Upacara
1. Upacara penyambuatan Kedua Mempelai
Bagi calon mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai duduk di tempat yang telah disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
2. Upacara Mabyakala
Sebelum upacara mabyakala, dilakukan upacara puja astuti oleh pemimpin upacara. Selanjutnya memebakar tetimpug sampai berbunyi sebagai simbol pemberitahuan kepada bhuta kala yang akan menerima pakala-kalaan. Kedua mempelai berdiri melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pabyakalaan. Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan segau/tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan. Selajutnya masing-masing ibu jari kaki dari kedua mempelai disentuh dengan telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan pengelukatan. Upacara selajutnya adalah berjalan mengelilingi banten pesaksian dank ala sepetan yang sebut dengan “Murwa Daksina”. Saat berjalan, mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dagangan (simbol menggendong anak), diiringi mempelai pria dengan memikul tegen-tegenan (simbol keras untuk memperoleh nafkah kehidupan). Setiap melewati Kala Sepetan, ibu jari kanan di sentuh dengan bakul lamabang dari Kala Sepetan.
Mrmpelai wanita saat berjalan dicemati (dipukuli) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai simbol telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir, kedua mempelai memutuskan benang pepegatan sebagai tanda mereka berdua telah memasuki masa Grehastha.
3. Upacara Mepejati atau Persaksian
Dalam upacara persaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebnayak lima kali kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah mebhakti, kedua mempelai diperciki tirtha pembersih oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten widhi widhana dan mejaya-jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan Samskara Wiwaha. Selesai Samskara Wiwaha adalh penandatanganan surat perkawinan oleh kedua mempelai dihadapan saksi pejabat yang berwenang.

BRAHMACARI

BRAHMACARI

Brahmacari adalah masa hidup setiap umatnya yang digunakan untuk menuntut ilmu. Mengisi diri menuju kedewasaa rohani supaya kedewasaan rohani dan jasmani berkembang sejalan dan seimbang. Bila hal ini terwujud maka orang tersebut akan menunjukan sikap bertanggung jawab. Artinya, setiap apa yang diperbuatnya harus disertai dengan sikap pertanggungjawaban. Hal ini merupaka nsikap mental yang dewasa.

Di saat seeorang berada pada masa brahmacari, hatinya mesti lebih terdorong untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan slogan “ Masa muda adalah masa belajar dan berjuang”. Bukanya masa muda digunakan untuk bersenang-senang dan hura-hura. Seperti kata pepatah para pemuda merupakan tulang punggung Negara. Mereka hendanknya mampu membuat sejarah dan mampu membuat perubahan zaman. Setiap orang hendaknya berusaha untuk dapat melewati masa Brahmacari dengan mencapai sasaran atau cita-citanya. Dalam naskah silakrama dijelaskan sebagai berikut:

Brahmacari ngarannya sang sedeng marga bhyasa sang hyang sastra, wangwang sang wruh ring tingkah sang hyang aksara, Sang mangkana karamanya sang Brahmacari ngaranya (Silakrama hal 8)

Artinya,

Brahmacari hanya bagi orang yang menuntut ilmu pengetahuan dan yang mengetahui perihal ilmu (huruf aksara) yang demikian itu disebut dengan Brahmacari.

Uraian Silakrama diatas dengan jelas menyatakan bahwa masa Brahmacari itu adalah masa menuntut ilmu, yakni masa belajar dan berjuang, mengisi diri menuju peringkat hidup yang lebih baik, dalam usaha menghilangkan kegelapan menuju kecerdasaan. Terutama pada era globalisasi seperti saat ini dimana perkembangan iptek sangat pesat dan didalam mempelajari dan menguasai iptek hendaknya berpedoman pada agama. Hal tersebut senada dengan ucapan seorang sarjana barat yang bernama Albert Einstein, yaitu ilmu tanpa agama itu buta dan agama tanpa ilmu itu lumpuh. Makadari itu pada masa Brahmacari sebaiknya kita menuntut ilmu setinggi-tingginya agar dapat membuat perilaku dan sikap moral serta mengembangkan jiwa budi luhur.

Mengingat adanya pendidikan seumur hidup dan kaitanya dengan prilaku seksual, maka ajaran Brahmacari juga mengalami perkembangan. Dengan demikian, maka dikenal dengan istilah:

a. Sukla Brahmacari

Sukla Brahmacari dalam Silakrama dijelaskan sebagai berikut:

“Sukla Brahmacari ngarannya tanpa rabi sangkan rere, tan maju tan kuring Sira, adyapi teku ring wreddha tewi tan pangicep arabi sangkan pisan” (Silakrama hal. 32)

Artinya:

Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini bukan karena impoten atau lemah sahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin sampai umur lanjut.

Dalam wira cerita Ramayana, Teruna Laksamana ditampilkan sebagai sosok yang menjalankan Sukla Brahmacari. Betapa pun wanita menggoda, termasuk Raksasa Surphanaka, ia tetap teguh iman melaksanakan Sukla Brahmacari, yakni tidak pernah kawin sampai akhir hayat dikandung badan.

b. Sewala Brahmacari

Tentang Sewala Brahmacari juga dijelaskan didalm Silakrama sebagai berikut:

“ Sewala Brahmacari ngranya, marabi pisan, tan parabi, muwah yan kahalangan mati srtinya, tanpa rabi, mwah sira, adnyapi teka ri patinya, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari yan sira Sewala Brahmacari”

Artinya:

Sewala Brahmacari namanya bagi orang yang didalm masi hidupnya hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal dunia, maka ia tidak kawin lagi lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah namanya Sewala Brahmacari.

Jadi, sudah jelas diberikan batasan bahwa orang yang melaksanakan Sewala Brahmacari itu hanyalah melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Rintangan apa pun yang menjadi kendala ia tetap berpegang pada prinsip ajaran Sewala Brahmacari.

c. Krsna Brahmacari

Dalam ajaran Tresna atau Kresna Brahmacari sudah diberikan suatu kelonggaran yang lebih terkait dengan masa Grehasta. Tetapi tetap berwawasan dengan hukum alami. Oleh, karena itu, kelonggaran tersebut tidak bersifat liberal. Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari, seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu pun dengan kententuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri kedua jika istri pertama tidak dapat melahirkan keturunan, tidak dapat berperan sebagai seorang istri (mungkin sakit-sakitan)dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua kalinya.